Senin, 27 Oktober 2008

SETETES EMBUN DI PUNCAK BUKIT DUANNE

Bukit Duanne adalah satu tempat awalnya suatu kisah kehidupan seorang anak manusia pada waktu kelahirannya di tandai dengan pelangi diatas bumbungan rumahnya di bukit Tiwallung Musi 7 Juni 1840 oleh malaikat Tuhan yang di beritakan kepada orangtuanya anak yang baru lahir itu diberi nama Bawangin artinya pembawa damai atau memperhatikan peperangan dan juga akan menjadi satu bejana pilihan untuk menjalankan pekerjaan Tuhan Allah juga hendaklah ia (Bawangin) dipelihara menurut jalan Tuhan. Setelah Bawangin Panahal berusia 8 thn Tuhan menjadi dalamnya dan kuatnya iman dan percaya dari keluarga yang baru menerima pesanan dari malaikat Tuhan selama 9 thn menderita berbagai macam penyakit diantaranya malaria, disentri, tubercolose. Pada tahun yang ke-9 Malaikat Tuhan kembali memperingatkan jangan putus asa dan hilang harap dan hiduplah menurut jalan Tuhan serta tinggallah di Bukit Duanne karena disitulah janji Tuhan akan digenapi dan hiduplah sebagaimana adapt kebiasaan sejak Adam dan Hawa turun kepada Datu Moyang Bawangin yakni Bangun Dunia, Tumpi Dunia, Tu’u Dunia, Sema Dunia hingga kepada Bawangin padahal agar selamatlah ia keluarganya dan dunianya.
Tahun 1880 Bawangin dinikahkan sebagai lembaga manusia biasa dengan seorang perempuan bernama Loson Pangetty.
Tahun 1884, setelah Bawangin mendapat satu penglihatan pada pagi hari jam 07.00 Matahari dikelilingi oleh 12 bintang yang bercahaya bagai pada malam hari, adanya 12 bintang menggambarkan cahaya kemuliaan yang kekal bersumber dari Tuhan Allah, dengan di awali satu acara ritual mandi berlimau sebagai symbol dari pembersihan diri dari segala dosa dan kesalahan. Tanggal 3 Juni hingga 3 Juli Bawangin menjalani puasanya (Map-Paddika) agar janji Tuhan itu di genapi.
Tanggal 29 Agustus 1884 pukul 21.00 Bawangin Penahal di angkat naik ke surga oleh Tuhan Allah dengan dengan menaiki sebilah papan emas, panjang 1m lebar 30cm, di ikat dan di kenakan pada dua buah rantai perak ke-2 ujungnya, di kerajaan Tuhan Allah di surga Bawangin telah memperlihatkan tentang kerajaan Allah dan segala kebenarannya untuk ia (Bawangin) dapat bersaksikan sendiri dalam membawa nama Tuhan dan kabar selama kepada segala orang isi dunia. 30 Agustus 1884 pukul 05.00 telah kembali ke bumi di antar oleh Malaikat Allah dan bala tentara surga. Selama 3 bulan Bukit Duanne di kawal oleh Malaikat Allah dengan bunyi bedil dan meriam. Tahun 1908 Bawangin bersama pengikutnya membangun pemukiman baru yakni Desa (Negeri) Musi yang kemudian telah di mekarkan menjadi dua desa, Musi dan Musi Satu Induk dengan wilayah 577 Ha.
Dalam kehidupan masyarakat begitu beragamya keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa telah mengikat dalam tali cinta kasih antara sesama manusia tidak melihat kebhinnekaannya tercermin pada setiap kegiatan dapat di laksanakan doa bersama tanpa di batasi ketentuan yang mengikat dan membatasinya semua berjalan sesuai landasan iman masing-masing yang menggambarkan pluralisme kehidupan masyarakat bangsa Indonesia untuk itu pada setiap orang dating berkunjung ke tempat ini akan di terima dalam suasanapertalian nilai-nilai yang terpelihara dengan baik.
Bukit Duanne dengan ketinggian 50m dari permukaan laut, 1km dari desa Musi , 2km dari desa Lirung, berada di Kabupaten Kepulauan Talaud, di Pulau Salibabu, sebelah Utara Kepulauan Nusantara, sebelah Tenggara Kepulauan Philipina pada posisi 4° Lintang Utara dan 126 ½° Bujur Timur. Sejak tahun 1908 dengan telah mendiami desa Musi di tambah lagi pihak keluarga pada pembagian harta warisan setelah Bawangin Panahal meninggal berpulang kepangkuan Sang Khalik Semesta Alam tahun 1938 dan berganti pemimpin yang baru generasi berikutnya Arnold Asili Panahal, kemudian menyerahkan tanah Bukit Duanne kepada Larauba Panahal generasi ketiga ditolah oleh Larauba Panahal ketema tanahnya hanya terdiri dari bebatuan dan hak waris akhirnya diserahkan kepada Rame Panahal untuk 2 Ha bagian arah laut sedang arah ke Gunung diserahkan kepada adiknya TH. M. Panahal dan kepada Rame Panahal ayahnya berpesan agar tanah ini dijaga dengan baik karena di bagian puncaknya di bersihkan karena disitu terjadi turunya Roh Allah.
Seiring dengan perjalanan waktu Bukit Duanne hanyalah satu bukit bertumbuhnya ilalang dan semak berduri seakan telah sirna. Sejuknya embun di pagi hari pada tahun 1974 di bulan Agustus seorang ahli/peneliti berkebangsaan Inggris tinggal dan menetap di negeri Kangguru (Australia) datang di kawasan ini ada satu Goa Bukit Duanne menemukan waktu penelitiannya dan penggaliannya 4 rangka manusia dan benda purbakala lainnya dalam kajian ilmiahnya berusia kurang lebih 5000 thn SM benda tersebutpun sirna bersama perginya sang peneliti. Yang ada adalah Goa Bukit Duanne di huni si Kalong dan Kepiting Kelapa yang habitatnya semakin terancam oleh mahluk yang paling buas seantero bumi ialah manusia, kata penyejuk hati dating dari wisatawan mancanegara bahwa pernah ada penelitian di Goa Bukit Duanne walaupun Arnold Panahal telah bertahun-tahun menelusuri ganasnya kehidupan Ibukota Jakarta data tentang penelitian di Goa Bukit Duanne tidak pernah ditemukan, hanya satu informasi dari Kepala Museum Gajah mengatakan bahwa Profesor Bellowed masih hidup di Australia sebagai dosen terbang di Universitas Canberra.
Pada tanggal 18 September 1983 Rame Panahal dengan pesanan dan harapan tempat turunnya Roh Allah di jaga dengan baik dan di bersihkan, Arnoldpun mencari dan bertanya tentang kebenarannya setelah data dari berbagai sumber di peroleh pelaksanaan kegiatan di mulai genap 100thn Penghayat Adat Musi di peringati dalam satu Kegiatan Upacara Ritual tahun berikutnya tidak seindah tahun pertama. Datanglah para pemilik modal dan penguasa dengan janji melontarkan sanubari, maka banyak orang berkepentingan di dalamnya, setelah suasana semakin keruh maka persoalan Bukit Duanne secara pribadi diajukan kepada Presiden Soeharto, waktu itu tahun 1985 bulan Maret diselesaikan dalam satu kegiatan parasehan di Taruna bersama Bpk. Kepala Biro Bantuan Presiden Brigjen Purnawirawan Zahid Husein dan Bpk. Drs. K. Permadi, SH dilanjutkan dengan kunjungan langsung di Musi dan Bukit Duanne 26 September 1986, dan Bukit Duanne mulai di kenal banyak orang dengan nilai-nilai Religi di dalamnya, berbagai asumsi dari kalangan masyarakat dating dan keinginan untuk mengambil alih dengan berbagai upaya berjalan terus.
Tahun 1990 kesempatan untuk Kepercayaan Adat Musi sebagian pemapar Tingkat Daerah berhasil baik dengan religius yang mendasari kehidupan komunitas ini dengan mendapat kesempatan di tingkat Nasional tahun 1991 di Cisarua Bogor.
Paramisi sebagian dasar dalam kehidupan komunitas ini memiliki dua pengertian dasar :
1. Paramisi adalah satu bentuk pengakuan akan adanya semua yang ada di langit dan bumi serta laut dan segala isinya adalah milik Tuhan Yang Maha Esa maka untuk memanfaatkan melakukan kegiatan dalam bentuk apapun selalu map-Paramisi (Berdoa Setiap Saat Tanpa Mengenal waktu dan Tempat)
2. Paramisi sebagian pernyataan hak orang per orang maka setiap orang memasuki, mengambil atau memanfaatkan wilayah atau barang orang lain harus meminta ijin kepada pemilik atau yang berhak untuk itu, agar tidak melakukan perbuatan salah yang berarti juga dosa.
Ini dapat kita peroleh pada waktu satu ritual dimana Amme waktu dan ucapan syukur panen akan nampak pelaksanaan upacara ritual penurunan pedang dan penurunan bibit akan jelas pada simbol upacara tentang liku-liku kehidupan yang beradab akan nampak jelas sampai pada pelestarian alam lingkungannya untuk mensyukuri berkat Tuhan yang di hitung jatuh pada bulan Purnama terbit seusai pola Musim Tanam yakni Matitimma bulan Juli-Oktober waktu pengolahan dan masa tanam.
Ucapan syukur Panel bulan Maret-April, Yamba bulan Februari-April. Ucapan syukur Panen Juli-Agustus dan upacara tersebut diikuti oleh semua warga dan siapa saja sebagian pertanda bagi peserta upacara oleh Tuhan Yang Maha Esa diberi kesehatan jasmani dan rohani di untungkan hidupnya panjang umur di jauhkan dari segala mara bahaya yang menghambat tubuh dan jiwa terlebih orang yang bermaksud jahat.
Ajaran Paramisi dan Paramisi Tirang (Doa dan Ajaran Tuhan Yang Maha Esa) adalah Paturut Tita Paimanna Ara’a Ruata patuh dan taat pada peraturan Tuhan Yang Maha Esa maka pada setiap kegiatan setiap tahun selalu di isi dengan dialog bersama Pemerintah,Unsur Agama dan Masyarakat Luas untuk membicarakan masalah hukum, kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara, hingga memasuki era globalisasi Bukit Duanne oleh Arnold Panahal. Di bangun satu konsep Kawasan Budaya Spiritual tahun 2005, Menteri Pemberdayaan Perempuan. Saat ini kunjungannya di Bukit Duanne Musi telah menandatangani Batu Prasasti.

I. Di wilayah Puncak sebagai pelataran suci di bangun Rumah Doa (Wanala Sanei = Bangunan Suci) menjelaskan tentang lima hak pokok perintahkan kepada segala orang dunia.
a. Membawa nama Tuhan dan kabar selamat kepada segala orang isi dunia, hidup menurut jalan Tuhan akan menghadapi fitnah aniaya dan rupa-rupa kejahatan yang harus dihadapi dengan sabar selama umur kehidupannya.
b. Perjanjian dengan Raja Setan, Malaikat Setan dengan segala bala tentara jalan Tuhan atau tidak mengalaminya, namun bagi orang-orang yang masih menurut akan Setan diminta oleh Setan menjadi miliknya.
c. Tempat penghukuman orang berdosa bagi orang-orang hidup menurut jalan Tuhan tidak akan mendapat penghukuman karena manusia yang hidup menurut jalan Tuhan ia akan kembali kepada Tuhan.
d. Dengan Malaikat Tuhan di perintahkan untuk membawa nama Tuhan dan kabar selamat kepada segala orang isi dunia dan hukum-hukum dunia.
e. Bersama orang salah dan orang suci menjunjung Ajaran Tuhan.


Dan lima dari hal yang harus dilakukan :
1. Pada hari Sabtu sang Juru Selamat memimpin ibadah di Tahta Allah bersama orang saleh dan orang suci dan berjuta-juta Malaikat Allah sedang sembah sujud, demikian pula yang harus dilakukan di dunia ini.
2. Nama Bawangin menjadi Tu’ang Dunia atau Pengampun Dunia sama dengan memberi gambaran kehidupan menurut Jalan Tuhan untuk semua orang.
3. Nama perkumpulan adalah Adat artinya Allah Dalam Tubuh .
4. Bukit Duanne harus dijadikan tempat Suci.
5. 10 Hukum Allah yang harus diperbuat oleh manusia.

Juga gambaran tentang kejadian dunia, masa Adam dan Hawa, masa peperangan lahirnya falsafah hidup bangsa Indonesia Pancasila Kemerdekaan, kehidupan akhir zaman dan kedatangan Tuhan kedua kali di dunia ini.

II. Wilayah pembelajaran nilai-nilai kehidupan menurut jalan Tuhan dan Kemanusiaan yang berada atau belajar Paramisi dan Paramisi Tu’ang.
III. Wilayah pelestarian Flora dan Fauna.
IV. Goa Bukit Duanne tentang peradaban manusia 5000thn SM.
V. Pengenalan Biota Laut, Terumbu Karang, Lobster, Ikan Hias dan indahnya kehidupan laut.
VI. Jalan-jalan raya adalah pengenalan berbagai kegiatan sosial ekonomi masyarakat pedesaan dimana yang akan datang daerah globalisasi juga prosesi ritual menuju puncak Bukit Duanne sebagai cerminan hidup masyarakat pedesaan yang pluraris dengan spiritual.

Akhirnya semoga Embun Pagi akan tetap menetes di Puncak Bukit Duanne ditengah gerbangnya kehidupan karena sistem kapitalisme telah menambah kesendi-sendi kehidupan manusia di era perubahan menuju dunia baru tahun 2010 Tuhan Memberkati Kita Semua ……. Tabea.






Luas Wilayah : 577 Ha
Jumlah Penduduk : 621 jiwa
Pemeluk Agama Islam : 25 jiwa
Pemeluk Agama Roma Katolik : 1 jiwa
Pemeluk Agama Kristen Protestan : 328 jiwa
Penghayat Adat Musi : 267 jiwa



By : Arnold Panahal

Rabu, 03 September 2008

PASAR BRINGHARJO

Oleh: Rosna Sawean

Sesuai data/profil yang saya dapat dari Drs. H. Achmad Fadli bahwa alamat pasar yaitu Jln. Pabringan no. 1 KK yang luas tanahnya 25.004 m2 sedangkan luas bangunannya 5.544.298m2 yang hanya mempunyai satu kelas dan mempunyai jumlah pedagang 5067 pedagang, yang mempunyai fasilitas antara lain 9 tempat parkir , 15 kamar mandi atau WC, 3 kantor pengelolaan, 1 mushola, 1 layanan kesehatan, 1 tempat penitipan anak, 1 tempat bongkar muat.

Pasar Bringharjo merupakan salah satu komponen utama dalam pola tata kota kerajaan Islam yang biasa disebut pola Catur Tunggal yang artinya keraton, alun-alun, pasar dan masjid. Lokasi pasar ini dahulu merupakan lapangan luas berlumpur dan becek yang banyak ditumbuhi pohon beringin. Sebelah timur bangunan tidak permanent adalah bekas makam orang Belanda. Tempat ini secara resmi dipergunakan sebagai ajang pertemuan rakyat.

Pada tahun 1957 Sri Sultan memanfaatkan orang-orang untuk mendirikan payon-payon sebagai peneduh dari panas dan hujan. Keadaan itu berlangsung hingga tahun 1920. Pada tangggal 24 Maret 1925 keadaan mulai berkembang . Nama Bringharjo baru diberikan setelah bertahannya Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sri Sultan memerintahkan agar nama-nama Jawa dipergunakan untuk semua nama instansi dibawah Kesultanan. Bringharjo merupakan nama yang paling sesuai untuk nama pasar di tengah kota mengingat lokasi itu dahulu kala adalah hutan beringin. Pohon beringin menunjukan kebesaran, serta pengayoman banyak orang. Jadi sesuai dengan apa yang diembankan pasar tersebut sebagai dasar pusat Pasar Gede bagi Kota Jogja.

Berbagai jenis dagangan diperjualbelikan di Pasar Beringharjo. Pada bagian pusat pasar ini tersedia aneka sandang batik, pakaian tradisional, tekstil, souvenir, sepatu, tas dan lain-lain. Pada bagian tengah tersedia berbagai macam barang antik kerajinan, makanan khas Jogja untuk oleh-oleh dll. Sedangkan pada bagian timur tersedia berbagai macam jamu tradisional yaitu sayur mayur, daging segar, ikan laut, ikan air tawar, ikan asin dll.

Sebagai kota yang mengalami perkembangan ekonomi yang cukup pesat peranan keberadaaan pasar-pasar tradisional di kota Jogja semakin penting. Pasar tersebut bertebaran di seluruh wilayah kota, baik di wilayah pusat maupun di wilayah pinggiran.
Hari pasar tersebut berlangsung setiap hari artinya setiap hari terjadi transaksi jual-beli. Yang membedakan adalah di beberapa pasar besar, pasar berlangsung dari pagi sampai sore hari. Sedangkan di beberapa pasar kecil berlangsung dari pagi sampai siang hari dan beberapa lainnya berlangsung pada pagi hari saja.

Pasar sebagai tempat bertemunya penjual dan pembeli yang melibatkan banyak pihak dalam aktivitasnya. Hal ini berarti pasar memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi bagi masyarakat. Oleh karena itu keberadaan pasar-pasar tradisional di kota Jogjakarta perlu terus diperbantukan dan ditumbuhkembangkan. Karena perjalanan pasar tradional di kota Jogja mengalami perkembangan seiring dengan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Sebagian besar pasar tersebut adalah pasar yang sudah ada sejak dahulu secara turun temurun yang didalam perjalannya mengalami perbaikan dan perluasan.

Kamis, 10 Juli 2008

Komunitas Musi Terus Mengalir

BERSAMA komunitas adat lainnya di nusantara, komunitas adat Musi terus mengalir mewarnai Indonesia. (*)